𝐉𝐀𝐍𝐆𝐀𝐍𝐋𝐀𝐇 𝐌𝐄𝐍𝐂𝐄𝐋𝐀 𝐒𝐀𝐔𝐃𝐀𝐑𝐀𝐌𝐔 𝐓𝐄𝐑𝐒𝐄𝐁𝐀𝐁 𝐊𝐄𝐓𝐄𝐑𝐆𝐄𝐋𝐈𝐍𝐂𝐈𝐑𝐀𝐍𝐍𝐘𝐀


𝐉𝐀𝐍𝐆𝐀𝐍𝐋𝐀𝐇 𝐌𝐄𝐍𝐂𝐄𝐋𝐀 𝐒𝐀𝐔𝐃𝐀𝐑𝐀𝐌𝐔 𝐓𝐄𝐑𝐒𝐄𝐁𝐀𝐁 𝐊𝐄𝐓𝐄𝐑𝐆𝐄𝐋𝐈𝐍𝐂𝐈𝐑𝐀𝐍𝐍𝐘𝐀

Janganlah mencela saudaramu tersebab ketergelincirannya dalam sebuah dosa dan maksiat, sebab hal itu adalah salah satu tanda bahwa akhlak kita masih sangat rendah. Bukankah dalam salah satu hadisnya Rasulullah ﷺ telah memerintahkan kepada kita untuk mencintai kebaikan bagi saudara seiman kita sebagaimana kita mencintainya untuk diri kita sendiri? Jadi, makna kebalikan dari hadis ini adalah, jika kita tidak suka dengan celaan atau penghinaan dari saudara kita atas maksiat yang kita telah tergelincir ke dalamnya, maka begitu jugalah perasaan saudara kita yang lainnya ketika kita mencelanya atas sebuah maksiat yang ia pun tergelincir ke dalamnya.

Ketahuilah, bahwa sesungguhnya tiada seorang pun dari kita yang mampu terbebas secara “mutlak” dari yang namanya dosa dan maksiat, seberapapun kuat dan kokohnya iman yang kita miliki. Akan tetapi, yang bisa kita lakukan hanyalah meminimalisirnya saja. Oleh karena itu, hakikat sederhana ini harus senantiasa kita ingat dan tanamkan pada diri kita masing-masing.

Selain menunjukkan bahwa akhlak kita masih sangat rendah, mencela saudara seiman kita tersebab ketergelincirannya juga merupakan hal yang sia-sia dan sangat merugikan diri kita sendiri. Karena bisa jadi, orang yang kita cela tersebut merasa terzalimi dengan ulah kita, lalu ia pun berdoa dalam kondisi yang demikian, maka bisa dipastikan bahwa doanya itu terkabul. Sebab, kata Rasulullah ﷺ dalam salah satu sabdanya, tidak ada yang menghalangi terkabulnya doa orang yang sedang terzalimi. Terlebih lagi, jika yang kita zalimi tersebut adalah wali-wali Allah di muka bumi ini. Dan akhirnya, bisa jadi pada suatu saat nanti, sebelum maut menjemput kita, Allah ‘𝐴𝑧𝑧𝑎 𝑤𝑎 𝐽𝑎𝑙𝑙𝑎 pun menguji kita dengan ketergelinciran yang serupa dengan saudara kita tersebut.

Dalam kitab 𝐴𝑠ℎ-𝑆ℎ𝑎𝑚𝑡 𝑤𝑎 𝐴̂𝑑𝑎̂𝑏𝑢𝑙 𝐿𝑖𝑠𝑎̂𝑛 karya Imam Ibnu Abi Ad-Dunya (w. 281 H), diriwayatkan bahwa Imam Hasan Al-Bashri 𝑟𝑎ℎ̱𝑖𝑚𝑎ℎ𝑢𝑙𝑙𝑎̂ℎ mengatakan,

كَانُوْا يَقُوْلُوْنَ مَنْ رَمَى أَخَاهُ بِذَنْبٍ قَدْ تَابَ إِلَى اللهِ مِنْهُ لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَبْتَلِيَهُ اللهُ بِهِ.

“Mereka (para sahabat dan tabi’in) memiliki konsep, barang siapa yang mencela saudaranya disebabkan sebuah dosa, sedangkan saudaranya itu sudah bertaubat kepada Allah, maka si pencela tidak akan meninggal dunia kecuali Allah akan menimpakan kepadanya dosa yang serupa dengan saudaranya tersebut.”

Karenanya, demi sebuah kehati-hatian dari efek yang ditimbulkan oleh dosa yang terlahir dari lisan ini, maka Al-Imam Ibrahim An-Nakha’i 𝑟𝑎ℎ̱𝑖𝑚𝑎ℎ𝑢𝑙𝑙𝑎̂ℎ (w. 96 H) pun -sebagaimana dinukil oleh Imam Ibnu Abi Ad-Dunya dalam 𝐴𝑠ℎ-𝑆ℎ𝑎𝑚𝑡- berkata,

إِنِّيْ لَأَرَى الشَّيْءَ أَكْرَهُهُ، فَمَا يَمْنَعَنِيْ أَنْ أَتَكَلَّمَ فِيْهِ إِلَّا مُخَافَةً أَنْ أُبْتَلَى بِمِثْلِهِ.

“Aku melihat sesuatu yang aku tidak suka, tidak ada yang menahanku untuk berkomentar dan membicarakannya, kecuali karena aku khawatir aku yang akan ditimpakan masalahnya dikemudian hari.”

Demikian pula yang diungkapkan oleh Imam Ibnul Qayyim 𝑟𝑎ℎ̱𝑖𝑚𝑎ℎ𝑢𝑙𝑙𝑎̂ℎ dalam 𝑀𝑎𝑑𝑎̂𝑟𝑖𝑗𝑢𝑠 𝑆𝑎̂𝑙𝑖𝑘𝑖̂𝑛-nya. Kata beliau,

وَكُلُّ مَعْصِيَةٍ عُيِّرَتْ بِهَا أَخَاكَ فَهِيَ إِلَيْكَ يَحْتَمِلُ أَنْ يُرِيْدَ بِهِ أَنَّهَا صَائِرَةٌ إِلَيْكَ وَلَا بُدَّ أَنْ تَعْمَلَهَا.

“Setiap maksiat yang dijelek-jelekkan pada saudaramu, maka itu akan kembali padamu. Maksudnya, engkau bisa dipastikan melakukan dosa tersebut.”

Masih dalam kitabnya ini, beliau juga mengingatkan,

إِنَّ تَعْيِيْرَكَ لِأَخِيْكَ بِذَنْبِهِ؛ أَعْظَمُ إِثْمًا مِنْ ذَنْبِهِ، وَأَشَدُّ مِنْ مَعْصَيَتِهِ…

“Sesungguhnya, pelecehanmu kepada saudaramu disebabkan dosanya adalah lebih besar dari dosanya, dan lebih buruk dari kemaksiatannya…”

Lantas, tidak bolehkah kita mencela saudara kita tersebab dosa dan maksiatnya? Padahal saudara kita tersebut sangat masyhur dengan amalan-amalan bid’ahnya. Jawabannya adalah, janganlah mencela atau menghinanya. Sebab, celaan atau hinaan tidak akan mampu mengubah kondisi saudara kita tersebut untuk meninggalkan amalan-amalan bid’ahnya. Yang seharusnya kita lakukan adalah menasihatinya dengan sungguh-sungguh dan penuh kesabaran sebagaimana Islam telah mengajarkan adab-adabnya kepada kita.

Dan senantiasalah ingat, bahwa mencela saudara seiman itu adalah perbuatan fasik. Bahkan, jika kita dicela sekalipun, Rasulullah ﷺ tetap memerintahkan kepada kita agar tidak membalasnya dengan celaan yang serupa, walaupun kita berhak untuk membalasnya. Sebab, yang lebih utama dari hal itu adalah memaafkan siapa saja yang telah mencela kita. Dan hal inilah yang telah dipraktekkan serta dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ beserta mayoritas generasi terbaik dari umat ini. Allah 𝑆𝑢𝑏ℎ̱𝑎̂𝑛𝑎ℎ𝑢 𝑤𝑎 𝑇𝑎’𝑎̂𝑙𝑎̂ berfirman,

وَلَا تَسْتَوِى الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ اِدْفَعْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ فَاِذَا الَّذِيْ بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَاَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيْمٌ ﴿٣٤﴾ وَمَا يُلَقّٰهَا اِلَّا الَّذِيْنَ صَبَرُوْا وَمَا يُلَقّٰهَا اِلَّا ذُوْحَظٍّ عَظِيْمٍ ﴿٣٥﴾

“𝐷𝑎𝑛 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑎𝑚𝑎 𝑘𝑒𝑏𝑎𝑖𝑘𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑗𝑎ℎ𝑎𝑡𝑎𝑛. 𝑇𝑜𝑙𝑎𝑘𝑙𝑎ℎ (𝑘𝑒𝑗𝑎ℎ𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑖𝑡𝑢) 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑐𝑎𝑟𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑙𝑒𝑏𝑖ℎ 𝑏𝑎𝑖𝑘, 𝑠𝑒ℎ𝑖𝑛𝑔𝑔𝑎 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑎𝑑𝑎 𝑟𝑎𝑠𝑎 𝑝𝑒𝑟𝑚𝑢𝑠𝑢ℎ𝑎𝑛 𝑎𝑛𝑡𝑎𝑟𝑎 𝑘𝑎𝑚𝑢 𝑑𝑎𝑛 𝑑𝑖𝑎 𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑝𝑒𝑟𝑡𝑖 𝑡𝑒𝑚𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑒𝑡𝑖𝑎. 𝐷𝑎𝑛 (𝑠𝑖𝑓𝑎𝑡-𝑠𝑖𝑓𝑎𝑡 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑎𝑖𝑘 𝑖𝑡𝑢) 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑑𝑖𝑎𝑛𝑢𝑔𝑒𝑟𝑎ℎ𝑘𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑐𝑢𝑎𝑙𝑖 𝑘𝑒𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔-𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑚𝑝𝑢𝑛𝑦𝑎𝑖 𝑘𝑒𝑏𝑒𝑟𝑢𝑛𝑡𝑢𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑒𝑠𝑎𝑟.” (𝐐.𝐬. 𝐅𝐮𝐬𝐡𝐬𝐡𝐢𝐥𝐚𝐭 [𝟒𝟏]: 𝟑𝟒-𝟑𝟓)


𝐃𝐢𝐭𝐮𝐥𝐢𝐬 𝐨𝐥𝐞𝐡: 𝐴𝑙-𝐹𝑎𝑞𝑖̂𝑟𝑢 𝑖𝑙𝑎̂ 𝑅𝑎𝑏𝑏𝑖ℎ𝑖, Abu Maryam Setiawan As-Sasaki (أبو مريم ستياوان السسكي)
Selesai ditulis pada hari Sabtu, 29 Jumadil Akhir 1439 H/ 17 Maret 2018, pukul 18.09 menjelang Magrib, bertempat di kota Mataram tercinta.


𝐅𝐚𝐜𝐞𝐛𝐨𝐨𝐤: Setiawan As-Sasaki (https://m.facebook.com/setiawan.assasaki)
𝐓𝐰𝐢𝐭𝐭𝐞𝐫: @SasakiSetiawan2 https://mobile.twitter.com/SasakiSetiawan2
𝐈𝐧𝐬𝐭𝐚𝐠𝐫𝐚𝐦: @setiawanassasaki (https://www.instagram.com/setiawanassasaki/)
𝐁𝐥𝐨𝐠: setiawanassasaki.wordpress.com
𝐖𝐚𝐭𝐭𝐩𝐚𝐝: https://www.wattpad.com/user/SetiawanAsSasaki
𝐘𝐨𝐮𝐓𝐮𝐛𝐞: Setiawan As-Sasaki TV https://youtube.com/channel/UCBeE-BTmSqM0bUxKZSy13ug
𝐓𝐞𝐥𝐞𝐠𝐫𝐚𝐦: Setiawan As-Sasaki https://t.me/setiawanassasaki91

Leave a comment