Ternyata Rasulullah membagi hukum bid’ah


Kata siapa Rasulullah tidak membagi bid’ah? Rasulullah membagi hukum bid’ah menjadi dua, ada yang tertolak dan ada yang tidak.

Rasul bersabda:

من أحدث في أمرنا ما ليس منه فهو رد

Dalam hadis tersebut bid’ah (Muhdats) yang tertolak hanyalah yang memenuhi dua kriteria, yakni:

1. Fi amrina, yakni hal baru dalam urusan agama.

2. Mau laysa minhu yakni yang sama sekali bukan bagian agama atau dengan kata lain hal yang tidak dapat dicari landasan hukumnya dalam sumber-sumber hukum islam yang ada, yakni: al-Qur’an, hadis, ijma’, qiyas, maslahah mursalah, istihsan, urf, dan lain-lain.

Bila diperluas, maka bid’ah dibagi menjadi dua dan masing-masing terbagi lagi menjadi dua kriteria sebagai berikut:

A. Ditolak, yakni:

1. Urusan agama.

2. Tidak berdasar menurut agama

B. Diterima, yakni:

1. Bukan urusan agama.

2. Berdasar menurut agama.

Contoh:

– Naik mobil dan memakai pengeras suara adalah bid’ah yang diterima sebab masuk poin B1

– Shalat Tarawih sebulan penuh, membaca doa saat tanggal 27 ramadhan saat tarawih, shalat Dhuha setiap hari, shalat di lantai keramik, membuat hari khusus untuk pengajian agama, maulidan dan tahlilan adalah bid’ah yang diterima sebab masuk kategori B2.

– Shalat menghadap Borobudur dan Azan sebelum shalat Dhuha adalah bid’ah yang tertolak sebab masuk kategori A.

Sebab itulah imam Syafi’i membagi bid’ah menjadi dua, sesuai petunjuk Rasulullah di atas. Sulthanul Ulama dan kemudian diikuti oleh tak terhitung ulama lain, kemudian secara rinci membagi bid’ah menjadi lima kategori hukum taklifi, yakni wajib, sunnah, mubah, makruf dan haram.

Yang tidak sepakat dengan pembagian di atas hanya dua orang, yakni Ibnu Taymiyah dan as-Syatibi. Keduanya membuat teori yang lemah tentang bid’ah dan karenanya takkan bisa dijalankan secara konsisten pada semua kasus oleh muqallidnya. Yang bertaqlid pada kedua tokoh ini dapat dipastikan akan tebang pilih sesuai nafsu dan selera sebab kaidahnya memang tidak komprehensif

Leave a comment