Muadz bin Jabal bin Amr bin Aus al-Khazraji


Nama panjangnya adalah Muadz bin Jabal bin Amr bin Aus al-Khazraji. Ia dilahirkan di Madinah dan memeluk Islam pada usia 18 tahun. Fisiknya gagah, berkulit putih, berbadan tinggi, berambut pendek dan ikal, dan bergigi putih mengkilat.
Muadz termasuk dalam rombongan berjumlah sekitar 72 orang Madinah yg datang berbai’at kepada Rasulullah pada waktu perjanjian Aqabah,
Bai’at atau perjanjian Aqabah ialah perjanjian yg dilakukan atara Rasulullah dan penduduk Yatsrib, nama lama kota Madinah. Perjanjian tersebut terjadi sebanyak dua kali dan kedua perjanjian tersebut berlokasi di jalur gunung antara Mina dan Makkah atau tepatnya disebuah bukit bernama Aqabah.
Setelah itu ia kembali ke Madinah sebagai seorang pendakwah Islam di dalam masyarakat Madinah. Ia berhasil mengislamkan beberapa orang sahabat terkemuka misalnya Amru bin al-Jamuh.

Keitstimewaannnya yg utama ialah “fiqih atau keahliannya dalam soal hukum”.
Keahliannya dalam fiqih dan ilmu pengetahuan ini mencapai taraf yg menyebabkannya berhak menerima pujian dari Rasulullah dengan sabdanya:
“Umatku yg paling tahu akan yg halal dan yg haram ialah Mu’adz bin Jabal.”
Kemampuan untuk berijtihad dan keberanian menggunakan otak dan kecerdasan inilah yg menyebabkan Mu’adz berhasil mencapai kekayaan dalam ilmu fiqh, hingga dinyatakan oleh Rasulullah sebagai “orang yg paling tahu tentang yg halal dan yg haram”.

Ia seorang pendiam, tak hendak bicara kecuali atas permintaan hadirin. Dan jika para sahabat berbeda pendapat dalam suatu hal, mereka pulangkan kepada Mu’adz untuk memutuskannya. Maka jika ia telah buka suara, adalah ia sebagaimana dilukiskan oleh salah seorang yg mengenalnya: “Seolah-olah dari mulutnya keluar cahaya dan mutiara.”
Dan kedudukan yg tinggi di bidang pengetahuan ini, serta penghormatan kaum Muslimin kepadanya, baik selagi Rasulullah masih hidup maupun setelah beliau wafat, dicapai Mu’adz sewaktu ia masih muda.
Mu’adz adalah seorang yg murah tangan, lapang hati dan tinggi budi. Tidak sesuatu pun yg diminta kepadanya, kecuali akan diberikan dengan hati yg ikhlas.
Dalam kecerdasan otak dan keberaniannya mengemukakan pendapat, Mu’adz hampir sama dengan Umar bin Khathab.

Ketika Rasulullah hendak mengirimnya ke Yaman, lebih dulu ditanyainya, “Apa yg menjadi pedomanmu dalam mengadili sesuatu, hai Mu’adz?”
“Kitabullah,” jawab Mu’adz.
“Bagaimana jika kamu tidak jumpai dalam Kitabullah?”, tanya Rasulullah pula.
“Saya putuskan dengan Sunnah Rasul.”
“Jika tidak kamu temui dalam Sunnah Rasulullah?”
“Saya pergunakan pikiranku untuk berijtihad, dan saya takkan berlaku sia-sia,” jawab Muadz.
Maka berseri-serilah wajah Rasulullah. “Segala puji bagi Allah yg telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah sebagai yg diridhai oleh Rasulullah”.
(Hr Bukhari, Abu Dawud).

Setelah ujian lisan ini Muadz dikirim Rasulullah ke Yaman. Muadz dikirim ke Yaman untuk menjadi qadhi, Rasulullah mengirim petunjuk kepada Muadz terkait ketentuan kewajiban zakat.
“Dari Muazd bin Jabal bahwa Nabi mengutusnya ke Yaman dan memerintahkan untuk mengambil zakat dari tiap 30 ekor sapi berupa seekor tabiah (anak sapi yg masih muda), dari setiap 40 ekor sapi berupa seekor musinnah (anak sapi yg sudah dewasa).”
(Hr Ahmad, Tirmizi, al Hakim, Ibnu Hibban).

Ketika Muadz naik ke tunggangannya dan kakinya telah menyentuh pelana unta, Nabi sekali lagi mengingatkan :
يا معاذ، إنك عسى ألا تلقاني بعد عامي هذا، ولعلك تمر بمسجدي هذا وقبري
Ya Muadz innaka asa an laa talqaaniy ba’da aamiy hadza wa la’allaka an tamurra bimasjidiy hadza wa biqabriy,”.
‘Hai Muadz, bisa jadi kau tak akan berjumpa lagi denganku selepas tahun ini. Engkau lewat di masjidku dan di sini kuburku.’
Muadz pun menangis. Ia takut berpisah dengan Nabi. Kemudian Nabi berbalik ke arah Madinah. Beliau bersabda,
إن أولى الناس بي المتقوْن ، من كانوْا وحيث كانوْا
“Sesungguhnya orang-orang yg paling utama disisiku adalah orang yg bertakwa, siapapun dan dimanapun mereka.”

Muadz bin Jabal lalu meninggalkan Madinah menuju Yaman. Setibanya di sana, ia menjalankan apa saja yg diperintahkan Rasulullah kepadanya.

Suatu ketika, wanita Yaman mendatangi Gubernur Muadz bin Jabal dan berkata :
”Wahai sahabat Rasulullah, apa hak seorang suami atas istrinya?”
Muadz bin Jabal berkata : ”Sesungguhnya seorang istri tidak akan mampu melaksanakan hak suami atas dirinya. Karena itu, bersungguh-sungguhlah kamu dalam menunaikan hak suamimu sesuai dengan kemampuanmu.”
Wanita itu berkata lagi,”Demi Allah, apabila engkau benar-benar sahabat Rasulullah pasti mengetahui apa hak suami atas istrinya.”
Muadz bin Jabal berkata kepada wanita itu, ”Seandainya kamu pulang menemui suamimu dan kau dapatkan kedua lubang hidungnya sedang mengucurkan nanah dan darah, lalu kamu mengobatinya maka kamu masih belum menunaikan haknya.”

Saat di Yaman, dua hari berturut-turut Muadz bermipi, “Wahai Muadz, dapatkah kau lelap tertidur sedangkan Rasulullah sudah berada di dalam tanah?”
Muadz seketika itu terbangun sembari menjerit hingga suaranya memecah keheningan malam di negeri Yaman. Keringat dingin bercucuran. Jantungnya berdegup kencang. Untuk kedua kalinya suara itu mendatanginya dalam mimpi. Muadz bergumam lirih dalam hatinya, “Ya Rasulullah, apa yg terjadi kepadamu?”
Keesokan harinya, orang² menemui Muadz. Mereka bertanya apa yg terjadi kepadanya semalam.
Muadz menjelaskan isi mimpinya itu kepada orang-orang, “Dua hari berturut-turut aku mendapatkan mimpi yg sama, namun aku tidak mengerti apa maksud mimpiku. Mimpi itu membuatku terkenang Rasulullah. Berikan Al-Qur’an kepadaku, karena Rasulullah selalu membacanya ketika beliau mendapat mimpi yg sulit dipahami.”
Seseorang mengulurkan Al-Qur’an kepada Muadz. Ia pun membukanya dan tepat surat az-Zumar ayat 30 :
“Sesungguhnya kamu akan mati’ dan sesungguhnya mereka akan mati.”
Mu’adz jatuh pingsan setelah membacanya.

Setelah sadar, ia membuka Al-Qur’an kembali. Ayat yg terlihat olehnya adalah surat Ali Imran ayat 144, “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yg berbalik ke belakang. Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yg bersyukur..”

Usai membaca ayat ini. Mu’adz menjerit. “Wahai, Abul Qasim!” Hatinya semakin runyam.
Ia berkata kepada orang-orang, “Jika apa yg kulihat ini benar. kita kehilangan pemimpin kita, saudara-saudaraku. Betapa sedihnya berpisah dengan beliau….”

Dan hari itu, Mu’adz memutuskan untuk kembali ke Madinah. Mimpi-mimpi itu seperti panggilan dari sang kekasih yg dicintainya; Muhammad al-Musthafa.
Tiga hari sudah Mu’adz menempuh perjalanan. Sayup-sayap, ia mendengar seseorang melantunkan ayat suci Al-Qur’an. Ayat yg dibaca orang itu adalah surat Ali Imran 185 :
“Setiap yg bernyawa akan merasakan mati. Dan hanya pada hari Kiamat sajalah diberikan balasan yg sempurna. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga. maka dia mendapatkan kemenangan. Dunia hanyalah kesenangan yg memperdaya.”

Hati Mu’adz bergetar, perasaannya tak nyaman. Ia mendekati orang itu dan bertanya,”Wahai Fulan, bagaimanakah kabar Rasulullah?”
Orang itu menjawab, ”Rasulullah telah meninggal dunia.”
Mu’adz tak kuasa menahan rasa sedih. Mimpi-mimpinya semakin nyata. Rupanya mimpi itu adalah kabar dari-Nya, dan bukan bisikan setan semata. Ia jatuh pingsan. Setelah ia sadar, orang itu menyerahkan sepucuk surat dari Abu Bakar untuknya dengan stempel Rasulullah.
Air mata Mu’adz bercucuran saat melihat stempel itu. Wajah teduh Rasulullah terbayang dalam ingatnya. Kerinduan kepada rasul tercinta semakin terasa.

Menjelang Subuh, Mu’adz tiba di Madinah dan bertemu dengan para sahabat. Terdengar olehnya suara azan berkumandang.
Asyhadu alla ilaha illallah….”
Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah…,” sambung Mu’adz lirih. Air mata mengalir kembali, dadanya terasa sesak. Rasa rindu dan luka menyatu hingga tak memberinya ruang untuk berdiri tegak. Mu’adz ambruk kembali.

Salman al-Farisi yg berada di sampingnya turut berkaca-kaca.
“Wahai, Bilal,” ucap Salman, “serukan azan di telinganya agar ia Sadar kembali. Ia adalah Mu’adz bin Jabal yg baru tiba dari Yaman.”

Bilal mendekati Mu’adz, lalu berbisik kepadanya. “Bangunlah, Muadz. Aku mendengar Rasulullah mengirimkan salam kepadamu”
Mu’adz tersadar Sejuta penyesalan bertumpuk-tumpuk dalam hatinya lantaran tak sempat menjenguk dan melihat Rasulullah untuk yg terakhir kalinya.
“Wahai Mu’adz, kami merasakan kepedihanmu, marilah aku antarkan kau kepada ahli bait untuk mengobati rasa rindumu kepada Rasulullah,” ucap Bilal. Mu’adz menurut.
Bilal lantas mengantarnya kepada Aisyah yg tengah berada di rumah Fatimah. Melihat keduanya, lagi-lagi Mu’adz tak kuasa menahan kedua kakinya untuk tegak berdiri. Segala yg berhubungan dengan Rasulullah membuatnya luluh. Ia kembali luruh. Telimpuh dalam kesedihan.

Ketika ia sadar kembali, Fatimah berkata berkenan dengan keadaan Mudaz : Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
, إنه يأتي يوم القيامة إمام العلماء بربوة
“Sesungguhnya dia (Muadz) datang pada hari kiamat nanti sebagai pimpinan para ulama. Di depan mereka sejauh lemparan yg jauh.”
(Hr al-Hakim).
Air mata Mu’adz bercucuran. Kekasih yg dicintainya itu tak pernah melupakannya. Meski Rasulullah jauh darinya, beliau tetap mengingatnya dan mengucapkan namanya.
“Wahai Rasulullah, alangkah pedihnya perpisahan ini,” bisik Mu’adz sembari melangkah menuju makam Rasulullah. Hanya pusaralah yg ia dapati. Madinah yg bercahaya terasa meredup tanpanya lagi.

Pada masa Khalifah Umar, Muadz dikirim ke Syam untuk mendampingi Gubernur Amir bin Abdullah bin Jahrah yg populer dipanggil Abu Ubaidah. Dia sebagai ahli hukum.
Di negeri Syam lantas terserang wabah thoun (lepra). Gubernur Abu Ubaidah terinfeksi hingga wafat. Khalifah Umar kemudian mengangkat Muadz menjadi penggantinya.
Muadz bersama pejabat negeri berjuang membasmi wabah ini. Tapi keluarga Muadz tertular juga. Mula-mula anaknya, Abdurrahman, terinfeksi hingga meninggal. Kemudian dia juga terkena wabah tersebut. Pada tahun 18 H, ia harus kembali kepada Allah dalam usia 33 tahun. Ia menghembuskan nafas terakhirnya di Urdun setelah sebelumnya berucap, “Ya Allah, Engkau Mahatahu. Tidaklah aku menyukai dunia untuk membangun istana dan mengalirkan Sungai. Aku mencintai dunia karena tiga hal saja! yaitu puasa di siang hari, Qiyamul Lail di malam hari, dan berkumpul dengan para alim di majelis zikir.
(Sirah sahabat Nabi saw).
والله اعلم

Leave a comment