Ridha Kekayaan Hakiki Mukmin Sejati


 

Dalam Islam, setiap manusia diberi kebebasan untuk memilih antara beriman atau kafir, menjadi orang yang bersyukur atau kufur. Karena itu, dalam menyikapi ketentuan Allah SWT, setiap orang juga bisa memilih untuk ridha atau tidak.

Kekayaan Sejati
Boleh saja orang tidak ridha, kecewa, bahkan menggugat keputusan Allah SWT, tapi keputusan-Nya tidak bisa ditawar, ketentuan-Nya pasti terjadi. Sekalipun semua orang berusaha menghalangi, tapi jika Allah SWT telah berkehendak maka kehendak itulah yang terjadi. Sebaliknya, Jika Allah SWT tidak menghendaki sesuatu, maka tidaklah akan terjadi sesuatu itu, walaupun semua orang menginginkannya, dan saling bahu-membahu untuk mewujudkannya.

Karena itu, orang yang ridha akan mendapatkan pahala atas keridhaannya, lantaran ia menerima keputusan Allah SWT. Sedangkan orang yang tidak ridha, tidak mendapatkan apa-apa kecuali penyesalan dan kerugian belaka, lantaran ia menolak keputusan-Nya. Kerugian yang pertama, mereka kehilangan pahala; kedua, penolakannya, tidak akan mengubah apapun atas ketentuan Allah SWT; dan ketiga, hatinya menjadi sempit.

Sebaliknya orang yang ridha, selain mendapatkan pahala di sisi Allah SWT, mereka juga akan mendapati kehidupan yang luas. Betapa banyak orang yang diberi berbagai kemudahan, tapi karena tidak ridha atas ketentuan Allah SWT, mereka tidak puas, kecewa, menyesal, dan dadanya sempit.

Banyak orang yang sehat tapi hatinya sakit. Banyak pula orang kaya tapi hidupnya menderita.

Penderitaan hidup yang dialami orang tersebut bukan karena kekuarangan harta, atau karena kesehatannya terganggu, tapi penyebab utamanya adalah penyakit hati yang berasal dari ketidakridhaan terhadap ketentuan Allah SWT.

Karena itu, menurut mufassir, Sufyan, kekayaan yang sesungguhnya adalah memiliki hati yang ridha. Sampai kapan pun seseorang tidak akan pernah merasa kaya hingga dia meridhai apa yang telah ditentukan Allah SWT untuknya. Inilah makna kekayaan yang ditafsirkannya dari ayat berikut, “Dan sesungguhnya Dia yang memberikan kekayaan dan memberikan kecukupan. (An-Najm [53]: 48)

Kunci Kebahagiaan
Ridha adalah kunci kebahagiaan. Seseorang tidak akan pernah bisa merasakan kebahagiaan hidup di dunia, apalagi kebahagiaan hidup di akhirat kecuali dia telah merasa puas terhadap segala hal yang telah terjadi atas dirinya. Seseorang baru dapat merasa terpuaskan hatinya jika dia telah tahu dan mengerti serta mengimani bahwa tiada suatu pun yang terjadi kecuali atas kehendak-Nya.

Jika seseorang telah ridha kepada Allah SWT, maka hatinya terasa tenteram (muthmainnah). Rasa kecewa, gelisah, takut, dan resah mejadi sirna digantikan rasa puas kepada semua yang telah dan akan terjadi. Hatinya tidak lagi merasa was-was dan khawatir, karena ia telah siap menyambut keputusan Allah SWT dengan perasaan senang. Karenanya, kelak Allah SWT juga akan menyambutnya dengan panggilan agung dalam ayat berikut, “Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. (Al-Fajr [89]: 27 – 28)
Keridhaan memang merupakan sumber ketenangan dan kebahagiaan. Siapa yang bisa meramalkan, apalagi memastikan, apa yang akan terjadi esok hari, sepekan lagi, sebulan ke depan, atau setahun yang akan datang? Ketidakpastian itu sering membuat orang gelisah, khawatir, bahkan takut. Hanya orang-orang yang beriman dan ridha atas ketentuan Allah SWT saja yang hatinya tenang.
Begitu hebatnya nilai keridhaan, hingga Umar bin Khaththab pernah menulis surat kepada Abu Musa RA, “Sesungguhnya kebaikan seluruhnya terdapat dalam ridha. Maka jika kamu mampu untuk ridha, maka hal itu sangat baik bagimu. Jika tidak mampu, maka bersabarlah.”

Berbagai penyakit hati sesungguhnya bermula dari kurangnya iman dan keridhaan terhadap ketentuan Allah SWT. Mengapa orang menjadi rakus dan tamak? Karena mereka takut tidak mendapatkan bagian yang cukup, menurut perhitungannya. Kenapa orang menjadi pelit dan bakhil? Karena mereka was-was terhadap apa yang tersisa setelah memberi.

Orang yang ridha, hidupnya akan senantiasa diliputi perasaan bahagia. Baginya tidak ada lagi yang terlalu peru dikhawatirkan. Hidup lebih lama itu baik baginya, karena ia bisa bertobat dan beramal shalih. Sebaliknya, kematian juga baik baginya, karena ia tidak lagi khawatir akan berbuat maksiat. Itulah sebabnya Rasulullah SAW memuji orang beriman dalam sabda beliau:
Aku merasa takjub kepada seorang Mumin. Ketika Allah memutuskan suatu perkara bagi seorang Mumin, pasti keputusan itu baik baginya. (Riwayat Ahmad)
Sikap Pasrah
Dalam hadits shahih yang diriwayatkan Abu Dawud, Rasulullah SAW telah mengajari keluarganya untuk senantiasa membaca dzikir: “Ma sya`a Allahu kana wama lam yasya` lam yakun.” (Apa yang dikehendaki Allah SWT pasti terjadi; apa yang tidak dikehendaki-Nya pasti tidak akan terjadi).
Selain meyakini bahwa segala keputusan Allah SWT pasti terjadi, kita juga yakin bahwa segala keputusan-Nya itu baik bagi kita. Percayalah bahwa Allah SWT tidak menghendaki atas hamba-Nya selain kebaikan. Allah SWT dengan sifat kasih sayang-Nya tidak pernah berniat buruk kepada kita. Semua rencana-Nya pasti baik. Semua ketentuan-Nya pasti yang terbaik untuk kita. Jangan pernah ragu terhadap hal ini.

Jika pada hari ini Allah SWT menguji kita dengan sakit, maka terimalah sakit itu dengan perasaan puas lagi bahagia. Yakinlah bahwa di balik sakit kita, Allah SWT punya rencana lain yang tidak kita ketahui. Bisa jadi dengan memberi sakit, Allah SWT hendak menyelamatkan kita dari berbuat sesuatu yang menyakiti orang lain. Dengan sakit itu kita justru terhindar dari berbuat dosa. Ada sekian cara Allah SWT menyelamatkan hamba-Nya. Kita hanya bisa merasakan hikmahnya setelah semua terjadi.

Hal itulah yang pernah terjadi pada Nabi Musa AS ketika melakukan perjalanan bersama Nabi Khidir sebagaimana diabadikan Allah SWT dalam Al-Qur`an, Surah Al-Kahfi ayat 71-80. Ketika Khidir melakukan tindakan-tindakan yang dianggap menyimpang, Nabi Musa tidak tahan untuk segera bereaksi, yakni dalam kasus perusakan perahu dan pembunuhan seorang anak kecil. Padahal beliau sudah dilarang untuk mempertanyakan apapun, alias harus ridha.

Melalui kisah itu kita bisa memahami bahwa Allah SWT telah mempunyai rencana, dan rencana-Nya itulah yang akan terjadi. Rencana yang merupakan perkara ghaib itu, wajib kita yakini dan kita terima, karena di balik semua rancana yang ghaib itu pasti ada hikmahnya, sekalipun awalnya tidak kita kehendaki. Percayalah bahwa rencana Allah SWT itulah yang terbaik bagi kita.

Antara Sabar dan Ridha
Sulaiman Al-Khawash menuturkan, ada seseorang yang ditinggal mati puteranya tapi dia tetap kelihatan ceria. Kemudian Umar bin Abdul Aziz datang menjumpainya. Ketika itu, ada salah seorang penduduk mengatakan perihal orang yang orang tersebut, “Demi Allah SWT, dia telah ridha.”

Namun atas pernyataan orang tersebut Umar bin Abdul Aziz menyela, “Bukan ridha tapi sabar! Menurutku, sabar lebih rendah tingkatannya daripada ridha. Disebut ridha manakala seseorang rela dengan apun yang akan terjadi sebelum menimpa dirinya, sedangkan sabar dilakukan setelah musibah terjadi.

Dengan kata lain, sabar adalah menerima ketetapan Allah SWT, tapi masih disertai adanya kepedihan. Sedangkan ridha adalah menerima ketetapan Allah SWT tanpa disertai kepedihan hati, bahkan disambut dengan gembira. Oleh karena itu, para ulama sepakat bahwa ridha itu lebih tinggi tingkatannya daripada sabar. Sehingga pahala ridha pun lebih besar daripada pahala sabar.

Balasan untuk orang yang sabar adalah surga. Sedangkan kenikmatan tertinggi di surga adalah berjumpa dengan Allah dan mendapatkan keridhaan-Nya. Dan keridhaan-Nya itu hanya akan diberikan kepada orang-orang yang ridha kepada-Nya.
Allah SWT berfirman, “Allah SWT menjanjikan kepada orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, dan (mendapatkan) tempat di surga ‘Adn. Dan keridhaan Allah SWT lebih besar. Itulah kemenangan yang agung. (At-Taubah [9]: 72). SUARA HIDAYATULLAH SEPTEMBER 2013

Leave a comment