AKIBAT MEMAHAMI & MENAFSIRKAN AL-QUR’AN TANPA KEMAMPUAN KEILMUAN BAHASA ARAB YANG MUMPUNI (KASUS ORGANISASI YG MENGAKU MENEGAKKAN SYARIAT)


AKIBAT MEMAHAMI & MENAFSIRKAN AL-QUR’AN TANPA KEMAMPUAN KEILMUAN BAHASA ARAB YANG MUMPUNI

Oleh: GR. DR. H. Miftah el-Banjary

Dulu waktu awal-awal masih kuliah S.1, di salah satu perguruan tinggi agama Islam, saya sering diajak kawan-kawan untuk bergabung dalam organisasi yang konon katanya memperjuangkan penegakkan syariat Islam.

Wacana dan semangat yang mereka sampaikan tentang perjuangan dan penegakkan hukum serta syariat Islam begitu sangat bersemangat dan menggebu-gebunya.

Dengan menyitir satu dua ayat mereka mencoba meyakinkan bahwa sebelum hukum syariat Islam yang menjadi dasar tatanan sistem sebuah negara, maka negara itu belum lagi dianggap sebuah negara Islam yang kaffah, meskipun mayoritas pemimpinnya didominasi orang-orang muslim.

Diantara ayat yang sering mereka bacakan:

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. al-Maidah 44).

Ya jadi, kesimpulannya, sebuah negara yang belum lagi menjadikan syariat Islam sebagai dasar negaranya, maka keseluruhan sistem pemerintahan negaranya bahkan entitas keseluruhan warga negaranya dihukumkan dan dipandang sebagai negara kafir.

Waduh..!!
Masa iya sih, pikir saya ketika itu.

Saya hanya diam dan tak dapat berkomentar apa pun, apalagi sampai mendebat atau berusaha meluruskan pemahaman kawan tersebut, sebab dalil yang dikemukakannya merupakan ayat al-Qur’an yang katanya sudah ia pelajari dari dalam mushaf al-Qur’an sendiri.

Saya tidak meragukan dalil ayat al-Qur’an yang dia sampaikan, tapi saya meragukan tentang metode pengambilan dalil (istinbath al-ahkam) yang diambil kawan itu dari al-Qur’an.

Apakah dia hanya membaca sepotong dua potong ayat, tanpa menghubungkan relevansi ayat antara teks dan konteksnya, lalu buru-buru membajaknya menjadi “jualan dalil” atau kah memang berdasarkan pada metode dan manhaj kaidah tafsir yang telah disepakati oleh para mufassir.

Apalagi, kawan itu, bukan dari jurusan spesialisasi Qur’an atau Jurusan Tafsir al-Qur’an, atau bahkan minimal seperti jurusan kami yang memang intens dan fokus dalam bidang kajian kebahasa-Araban yang tentu menjadi instrumen fundamental dalam mengkaji dan menafsirkan al-Qur’an.

Namun, ketika itu saya juga belum menguasai pembahasan-pembahasan kajian tafsir al-Qur’an yang bersifat mutasyabihat yang masih membutuhkan pada penafsiran dan pentakwilan lagi, maka saya bisa terdiam.

Waktu begitu cepat berlalu. Tak terasa hampir 4 tahun kuliah, bahkan hanya sekitar 3 tahun 9 bulan saya berhasil menyelesaikan program perkuliahan S.1 di jurusan Pendidikan Bahasa Arab, dan selanjutnya melanjutkan program S.2 di Cairo.

Di Cairo saya sudah berniat untuk masuk kuliah jurusan ilmu tafsir al-Qur’an. Tapi apatah daya, disebabkan di sana menerapkan sistem linearialisasi dengan jurusan S.1, sehingga mau tak mau saya hanya bisa diterima di program Sastra dan Bahasa Arab.

Pada tahun-tahun pertama, pada awalnya saya agak uring-uringan kuliah, sebab saya dihadapkan pada kajian perkuliahan bahasa Arab dan Sastra yang menurut dugaan saya ketika itu, ilmu agak kurang terlalu penting untuk diperdalami lagi.

Toh, di S.1, kami sudah mempelajari ilmu Nahwu, Sharaf, Balaghah, Nushush, Kaidah Imla, Ilmu Lughah dan segala cabang fundamental keilmuan kebahasa-Araban.

Yang saya inginkan, justru keilmuan baru, seperti Ulumul al-Qur’an, ilmu Tafsir, Thabaqat Mufassirin dan keilmuan serta metode yang berkenaan dengan cara menafsirkan al-Qur’an.

Ternyata, dugaan saya salah.

Pada suata hari, saya mendapatkan penjelasan paling berkesan dari dosen kami dan sekaligus supervisor thesis dan disertasi saya, Allahyarham Prof. Mohammed el-‘Abd yang mengatakan bahwa bahasa Arab itu fundamental yang teramat sangat penting dalam menafsirkan al-Qur’an.

Bahkan, tanpa keahlian dalam memahami bahasa Arab, seseorang bisa saja salah fatal, bahkan sesat dalam memahami al-Qur’an. Beliau kemudian mencontohkan salah satu ayat yang bisa saja menjatuhkan pemahaman seseorang pada kekufuran, hanya salah memberikan i’rab pada satu huruf al-Qur’an.

Beliau meminta kami membuka mushaf surah Taubah tentang ayat berikut:

اَنَّ اللّٰهَ بَرِيْۤءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِيْنَ ەۙ وَرَسُوْلُه ۗ

Beliau bertanya, itu lafadz “وَرَسُوْل” itu harakatnya kasrah “ِوَرَسُوْلِه” atau dhammah “ُوَرَسُوْلُه” atau fathah “ُوَرَسُوْلَه”?

Terang saja, secara hukum kaidah nahwu, kami sepakat menjawab, harakatnya kasrah “ِوَرَسُوْلِه” sebab sebelumnya didahului oleh huruf [واو] “Waw” yang merupakan huruf [عطف] Athaf.

Jadi, harakatnya kasrah “ِوَرَسُوْلِه” mengikuti ,[معطوف] “ma’thuf” dengan kalimat sebelumnya ” مِّنَ الْمُشْرِكِيْنَ” yang merupakan bentuk [جر مجرور] Jar-Majrur yang berharakat mesti Kasrah.

Ternyata, jawaban kami ketika itu salah fatal. Kesalahan itu bukan sekedar kesalahan nahwu semata, bahkan bisa menghasilkan makna yang rusak dan menyesatkan.

Penjelasan beliau, jika dibaca kasrah seperti ini:
أَنَّ اللّٰهَ بَرِيْۤءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِيْنَ ەۙ وَرَسُوْلِهِ ۗ

Artinya: “.. bahwa sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan (juga berlepas) dari Rasul-Nya…”

Maka maknanya, juga bisa berarti bahwasanya Allah tidak akan memperdulikan dan juga tidak akan menolong orang-orang musyrikin juga tidak pula memperdulikan dan menolong Rasulullah.

Ini jelas menghasilkan makna yang rancu dan rusak!! Jadi bagaimana harakat yang benar?!!

Yang benar menurut jumhur kesepakatan para ulama bahwa harakat yang tepat adalah dengan harakah “dhammah” “ُوَرَسُوْلُه”.

Alasannya, huruf tersebut bukanlah huruf Athaf, melainkan “Waw” Ibtida [واو ابتداء], sehingga dia tidak ada relevansi “ma’thuf” dengan kalimat sebelumnya. Setelah selesai kalimat “اَنَّ اللّٰهَ بَرِيْۤءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِيْنَ” sudah tidak ada lagi pembicaraan sambungan.

Barulah, selanjutnya disambung dengam pembukaan kalimat baru yang terpisah secara teks maupun konteks dengan kalimat sebelumnya, untuk kemudian membentuk kalimatnya yang mandiri berdiri sendiri menjadi “Mubtada Khabar Mahzuf”.

Sehingga lafadz “ُرَسُوْلُه” pada posisi irabnya menjadi “mubtada'” yang mana “khabarnya dimahdzuf” menjadi kalimat “وَسُوْلُهُ بَرِيْءٌ مِنْهُمْ” (..dan Rasul-Nya juga berlepas dari mereka orang-orang musyrikin).

Ada pula pendapat ulama yang memahami huruf [و] itu sebagai huruf Qasm (sumpah), sehingga dia juga tetap harus dibaca “ُرَسُوْلُه” dengan harakat dhammah.

Bagaimana jika dibaca dengan harakat fathah “ُوَرَسُوْلَه”? Bolehkah dibaca seperti ini:

أَنَّ اللّٰهَ بَرِيْۤءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِيْنَ ەۙ وَرَسُوْلَهُ

Boleh saja.

Posisi irabnya terulang pada posisi huruf ‘Athaf yang [عائد] nya kembali pada lafadz Jalalah أَنَّ اللّٰهَ, sehingga takwilnya menjadi:

أَنَّ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهَ بَرِيْۤءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِيْنَ ەۙ

“.. bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik..”

Lantas, bagaimana cara menjawab klaim kawan lama saya dulu yang menyatakan negara yang tidak menerapkan pemerintahan atau negara bersistem hukum Islam dihukumi kafir sebagaimana ayat ini:

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. al-Maidah: 44).

Sebelum menjawab persoalan itu, harusnya dia harus mengidentifikasikan dahulu ayat-ayat yang serupa redaksinya:

Selain ayat al-Maidah 44, masih ada 2 ayat yang sama persis redaksinya ayatnya, yaitu:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim.” (QS. al-Maidah: 45).

Dan al-Maidah: 47
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasiq.” (QS. al-Maidah : 47).

Nah, maka untuk mengetahui makna tafsirannya kita harus melihat hubungan antara teks dan konteks relevansi ayat.

Tidak semua negara atau sistem pemerintahan yang belum sepenuhnya menerapkan hukum syariah Islam, dapat dengan serta merta dihukumkan kafir.

Sebab, masih ada redaksi lainnya yang menyatakan zhalim dan fasiq yang tentu levelnya kedua terakhir ini lebih ringan daripada level pertama di atas.

Menurut Ibn Mas’ud, kafirnya jatuh sampai pada batas pengingkaran. Tapi jika hanya pada batas belum menerapkan, tidak sampai pada batas hukum kafir.

وهذا الكفر متردد بين أن يكون كفرا أصغر أو كفرا أكبر، بحسب حال الحاكم، فمن حكم بغير ما أنزل الله مستحلا له وجاحدا لحكم الله، أو يرى أن حكم القوانين التي وضعهما البشر أحسن من حكم الله، فهو كافر كفرا أكبر مخرجا من الملة؛ وعلى هذا يحمل تفسير ابن مسعود.

Kekufuran yang dimaksudkan oleh Ibn Abbas juga tidak sampai pada kekufuran yang mengeluarkan seseorang pada agamanya. Kufur dalam pengertian konteks tidak bersyukur saja.

وأما من غلبه هواه فحكم بغير الشرع مع اعترافه بالحق، فهو مخطئ آثم, ولا يخرج عن الملة. ويمكن ان يطلق عليه أنه كافر كفرا أصغر لا يخرج عن الملة، وهذا هو المقصود بقول ابن عباس – رضي الله عنهما: إنه ليس بالكفر الذي تذهبون إليه, إنه ليس كفرا ينقل عن ملة: {ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون} كفر دون كفر.

وروي عن طاووس أيضا أنها في المسلمين، وأن المراد بالكفر فيها كفر دون كفر، وأنه ليس الكفر المخرج من الملة، وروي عن ابن عباس في هذه الآية أنه قال: ليس الكفر الذي تذهبون إليه..

Hal ini juga dikuatkan oleh Syekh Asyinqithi dalam tafsir Adhyaul Bayan fi Idhahil Qur’an bahwa ayat ini juga turun dalam konteks untuk kaum muslimin dan yahudi dalam kekuasaan dan pemerintahan Islam di Madinah.

وقد فصل في المسألة الشيخ الشنقيطي في أضواء البيان في إيضاح القرآن بالقرآن, وذكر أقوال الصحابة والعلماء فيها فقال: قوله تعالى: {ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون}، اختلف العلماء في هذه الآية الكريمة: هل هي في المسلمين، أو في الكفار، فروي عن الشعبي أنها في المسلمين، وروي عنه أنها في اليهود،

Bahkan, kecaman terhadap orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, pada faktanya ayat ini turun untuk memberikan kecaman dan teguran keras terhadap orang-orang Yahudi.

قال بعض العلماء: والقرآن العظيم يدل على أنها في اليهود؛ لأنه تعالى ذكر فيما قبلها أنهم: {يحرفون الكلم من بعد مواضعه}، وأنهم يقولون: {إن أوتيتم هذا}، يعني الحكم المحرف الذي هو غير حكم الله: {فخذوه وإن لم تؤتوه} أي: المحرف، بل أوتيتم حكم الله الحق: {فاحذروا}، فهم يأمرون بالحذر من حكم الله الذي يعلمون أنه حق.

وقال القرطبي في تفسيره: {ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون} و{الظالمون} و{الفاسقون}، نزلت كلها في الكفار، ثبت ذلك في صحيح مسلم من حديث البراء، وقد تقدم, وعلى هذا المعظم، فأما المسلم فلا يكفر وإن ارتكب كبيرة، وقيل: فيه إضمار، أي: {ومن لم يحكم بما أنزل الله}، ردا للقرآن وجحدا لقول الرسول صلى الله عليه وسلم فهو كافر، قاله ابن عباس, ومجاهد.

Di tahun kedua, saya mulai menyadari bahwa apa yang kami pelajari dari keilmuan bahasa Arab dan Sastra, seperti Ilmu Dilalah, Tahlil Nushush, Semiotika serta kajian ilmu bahasa Arab modern lainnya dalam rangka mendukung dalam pemahaman al-Qur’an yang benar.

Yang mana pada akhirnya instrument disiplin keilmuan tersebut, justru mengantarkan pada pemahaman praktis bagaimana cara memahami metode dan manhaj untuk memahami al-Qur’an, menafsirkan ayat, menelusuri hubungan antara teks dan konteks ayat, bahkan mampu menjawab semua persoalan tentang kesamaran ayat-ayat mutasyabihat.

Kesimpulannya, tidak cukup berbicara tentang al-Qur’an, apalagi sampai berani menafsirkan sendiri, jika tanpa pemahaman bahasa Arab yang mumpuni yang didukung keilmuan syariat lainnya, apalagi jika hanya bermodalkan mushaf al-Qur’an Terjemahan semata.

Wallahu ‘alam.

Leave a comment