Wariskan Kebaikan


Salah satu yang menjadi karakter dari makhluk hidup adalah “mewariskan” sesuatu kepada keturunannya. Baik itu dari sisi genetika maupun perilaku. Tidak pandang apakah itu tumbuhan, hewan atau manusia, semuanya melakukan hal tersebut.

Bagi kaum Muslimin, jika berbicara tentang ”waris”, maka waris dipahami sebagai sebuah peninggalan yang memberikan kegembiraan dan harapan untuk melanjutkan kehidupan yang lebih baik. Bahkan ini merupakan hal yang sangat ditungu-tunggu bagi generasi selanjutnya. Sementara bagi orangtua yang tidak dapat memberikan warisan, biasa disebut dengan “taflis”, yang memperkecil ruang harapan dan kegembiraan. Meskipun di dalam masyarakat kita dikenal juga adanya sebutan “mewariskan hutang”, tetapi dalam pengertian waris yang sesungguhnya tidaklah demikian.

Sebagai da’i maka kita harus mewariskan sesuatu yang membuka ruang harapan yang lebih besar bagi dakwah dan ummat. Kita akan merasa gembira manakala ruang optimisme generasi masa depan dakwah semakin terbuka lebar dan mereka menikmati warisan kita itu. Dan warisan yang paling berharga adalah warisan nilai. Kita merasa tenang dan nyaman manakala warisan nilai itu bisa kita berikan kepada generasi berikutnya. Sebagaimana tenangnya para nabi jika bisa mewariskan nilai pada generasi sesudahnya

“Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia Berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan yang Maha Esa dan kami Hanya tunduk patuh kepada-Nya” (QS. 2 : 133)

Akan tetapi sebaliknya jika kita tak dapat mewariskan nilai yang baik kepada generasi sesudah kita, maka yang muncul adalah akumulasi keburukan yang terus menerus akan diturunkan dan terakumulasi kepada generasi berikutnya.

“Maka datanglah sesudah mereka generasi (yang jahat) yang mewarisi Taurat, yang mengambil harta benda dunia yang rendah ini, dan berkata: “Kami akan diberi ampun”. Dan kelak jika datang kepada mereka harta benda dunia sebanyak itu (pula), niscaya mereka akan mengambilnya (juga). Bukankah perjanjian Taurat sudah diambil dari mereka, yaitu bahwa mereka tidak akan mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar, padahal mereka telah mempelajari apa yang tersebut di dalamnya?. Dan kampung akhirat itu lebih baik bagi mereka yang bertakwa. Maka apakah kamu sekalian tidak mengerti?” (QS. Al-A’raf 169)

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (QS. Maryam : 59)

Allah tentu tidak menghadirkan begitu saja generasi yang hasanat atau yang sayyiat secara tiba-tiba. Tentu ada proses-proses yang mendahuluinya, ada gejala-gejala yang muncul.
Jika kita melihat kondisi saat ini, ada fenomena mulai tergesernya media pendidikan yang kita bentuk, semisal TPA, yang kental dengan nuansa “qawaid asasiyah Islam” dengan media pendidikan yang sama sekali tidak membawa nilai. Misalnya PAUD, yang lebih menekankan pada sisi funnya saja. Setidaknya, ketika ada anak-anak kaum muslimin yang lulus dari TPA ia telah memiliki kemampuan baca Al-Qur-an, mengetahui tata urutan sholat, dan mengenal kewajiban-kewajiban dasarnya sebagai seorang muslim.

Demikian juga dengan acara-acara keagamaan, seperti ceramah-ceramah yang disiarkan melalui stasiun televisi, saat ini lebih mengedepankan sisi entertain, menampilkan kemasan, namun isinya kosong dan lebih berorientasi kepada refreshing. Bahkan acara-acara motivasi yang dipenuhi dengan qola failasuf, dengan alasan nilai-nilai universal, menjadi lebih menarik perhatian ummat Islam bahkan kader, daripada yang berisi qolallah wa qala rasulullah.
Dan sebagai kader dakwah, dalam prespektif pewarisan (taurits), kita melihat bahwa pewaris kita ada 2 yakni pewaris ideologis, yakni mad’u kita dan pewaris biologis, yakni istri dan anak keturunan kita.

Dari sisi inilah kita perlu mewaspadai pergeseran dalam hal ketersambungan nilai antara generasi kita dengan generasi berikutnya. Jika dahulu kader semuanya siap menjadi khotib, siap menjadi penceramah, bagaimana dengan generasi berikutnya? Belum lagi jika kita mendengar beberapa kasus anak kader yang menginjak remaja atau dewasa ternyata sama dengan kasus-kasus yang dialami oleh anak-anak masyarakat pada umumnya. Ada yang tersangkut masalah narkoba, ada yang terjerat masalah pornografi.
Sehingga perlu diperhatikan, dalam hal taurits kepada keturunan biologis kita, tiga hal berikut:

1. Internalisasi Nilai-nilai Tarbiyah (Ta’ammuq Tarbawi)

Kita tentu tidak menghendaki jika tarbiyah hanya menjadi rutinitas dan formalitas semata, yang kemudian menjadi sekedar basa-basi. Hanya kepantasan sebagai anak kader yang orang tuanya tarbiyyah, maka anaknya pun tarbiyah. Akibatnya akan terjadi kekeringan nilai. Peran kita sebagai orangtua menjadi sangat dominan agar generasi setelah kita tetap mengecap tarbiyyah dengan penuh kenikmatan. Sungguh menyedihkan bila kebiasaan kita mendengarkan tilawah, atau menghibur diri dengan nasyid, kemudian anak-anak kita bersenandung dengan lagu-lagu pop.

Organisasi sebesar Masyumi yang diisi oleh begitu banyak orang-orang sholih dan baik, ternyata harus mati karena ketiadaan generasi penerus yang mewarisi nilai-nilai yang digenggam erat oleh orang tua mereka. Bagaimana cucu perempuan seorang Kiyai Haji yang sangat kharismatik dan memegang teguh nilai Islam, ternyata tampil di depan umum tidak dengan balutan busana yang menutup aurat, justru sebaliknya hanya dengan pakaian ketat dan celana pendek.

Tetapi kita juga melihat bagaimana Syaikh Abdullah Azzam yang berhasil mentarbiyah putra-putra beliau, sehingga merekalah yang mengawal Syaikh kemanapun perginya sampai syahidnya. Demikian pula yang dialami oleh Syaikh Kamal Helbawi, salah seorang tokoh harokah di Timur Tengah, putranya yang menjadi pintu screening bagi siapapun yang akan menemui ayahnya.

2. Menumbuhkan suasana keseharian yang sarat dengan nilai-nilai kebaikan (Munakh al qimatushsholihah)

Jika kita mengawal pertumbuhan fisik anak-anak kita dengan pengawalan yang reguler, lengkap dan tuntas, semisal vaksin dan sebagainya, maka penanaman nilai atas diri mereka pun harus dilakukan dengan reguler, lengkap dan tuntas juga.

Penumbuhan suasana keseharian yang sarat dengan nilai kebaikan, hanya akan efektif dilakukan di rumah, sebagai basis dasar kita. Rumah kita haruslah menjadi rumah tarbiyyah bagi generasi penerus kita. Sehingga ketika mereka kita lepas bergaul dengan lingkungan yang ada, immunitas itu akan muncul dengan sendirinya. Itulah sebabnya kenapa rasulullah begitu optimis ketika menandatangani Perjanjian Hudaibiyah, yang mengatur lalulintas orang antara Makkah dan Madinah. Di mana jika ada orang Makkah masuk Madinah, wajib dikembalikan ke Makkah, tetapi jika ada orang Madinah yang masuk Mekkah mereka tidak wajib dikembalikan. Rasulullah sangat yakin bahwa basis nilai itu adanya di Madinah.
Harus kita akui, bahwa kita belum berhasil menumbuhkan basis tarbiyyah kita di rumah. Kita masih sering ragu ketika harus melepas anak kita pergi. Kita masih ragu memasukkan anak kita ke sekolah umum dengan alasan lingkungan pergaulan. Kita masih belum tenang, masih belum ithmi’nan, karena kita memang belum berhasil menumbuhkan munakh aql qimatushsholihah di dalam lingkungan terkecil kita.

3. Merancang Bangunan Tarbiyah (Takhtihth Tarbawi)

Seiring perjalanan waktu menghadapi realita yang ada, seringkali idealita kita tentang rancang bangun tarbiyah yang kita impikan, terutama terkait dengan rumah tangga, menjadi sirna. Tidak sedikit diantara kader yang “menghalangi” atau “membatasi” istrinya aktif dalam kegiatan-kegiatan tarbiyah karena urusan domesti
k yang tak pernah usai. Semestinya kita memiliki rancangan terhadap tarbiyyah anak-anak kita, bagaimana mereka mewarisi militansi, kesungguhan, kecintaan ilmu ditengah lingkungan yang terus mengalami perubahan. Tidak menjadi masalah dengan cita-cita dan kecenderungan pibadi mereka, sepanjang koridor tarbiyyah tak dilanggar.

Tentu harus disadari pula bahwa kita adalah jama’ah, sehingga dalam membuat rancang bangun tarbiyyah ini bukan semata tanggung jawab pribadi, tetapi juga menjadi tanggung jawab institusi, dari sel terkecil kita, halaqah. Sehingga tidak terdengar lagi ucapan istrinya ustadz fulan ternyata sudah tidak lagi mengaji, atau oooo… ternyata anaknya ustadz fulan tidak tarbiyyah toh ?

Ini menjadi tanggungjawab kita bersama.

Wallahu a’lam bishawab
Taujih Ustadz Ibnu Umar dalam sebuah Forum dan Liqo’.

Leave a comment