BACA AL QUR’AN DI SAMPING MAYIT DI MASA IMAM SYAFI’I DAN IBN TAIMIYAH


BACA AL QUR’AN DI SAMPING MAYIT DI MASA IMAM SYAFI’I DAN IBN TAIMIYAH

Di Indonesia lumrah dijumpai saat ada muslim yang wafat maka keluarga atau pelayat akan membaca Al Qur’an di samping jenazah sampai kemudian dibawa untuk dikuburkan.

Tradisi seperti ini ternyata tidak hanya terjadi di masa sekarang namun jika ditelisik lebih jauh dapat ditemukan hal yang sama, salah satunya dalam reportase suasana wafat Imam Syafi’i yang diabadikan oleh Imam Ibnu Hajar Al Asqalani dalam otobiografi As Syafi’i berjudul “Tawali Ta’nis Bi Ma’ali Ibn Idris”, di buku itu pasa halaman 178 Ibn Hajar menukilkan satu riwayat berikut:

وأخرج الآبري من طريق ابن عبد الحكم قال: سئل عن القراءة عند الميت فقال: كان أصحابنا مجتمعين عند رأس الشافعي ورجل يقرأ سورة يس، فلم ينكر ذلك عليه أحد منهم وحضروا غسله فما زالوا وقوفا على أرجلهم إلى أن كفن.

“Dan telah meriwayatkan Al Aaburri dari jalur Ibn Abdil Hakam berkata: bahwa suatu ketika ia ditanya perihal hukum bacaan Al Qur’an di sisi mayit, lantas ia menjawab: “Dulu kami (Murid-murid As Syafi’i) berkumpul di sekeliling Imam Syafi’i (saat ia wafat) dan ada yang membaca surat Yasin, serta tidak ada seorang pun dari mereka (Murid Syafi’i) yang mengingkari/melarang orang yang membaca Al Qur’an, lalu mereka menghadiri proses pemandian jenazahnya dan mereka masih berdiri hadir di sana sampai Imam Syafi’i dikafani”

Nah, tradisi yang semisal ini juga tidak hanya terjadi saat Imam Syafi’i Rahimahullah wafat tapi juga dapat dijumpai riwayat yang menyebut terjadi saat wafatnya Ibnu Taimiyah, sebagaimana disebutkan Ibnu Katsir dalam Al Bidayah Wa Nihayah (18/296):

قال الشيخ علم الدين البرزالي في ” تاريخه ” : وفي ليلة الاثنين العشرين من [ ص: 296 ] ذي القعدة توفي الشيخ الإمام العلامة الفقيه الحافظ القدوة ، شيخ الإسلام تقي الدين أبو العباس أحمد بن شيخنا الإمام العلامة المفتي شهاب الدين أبي المحاسن عبد الحليم بن الشيخ الإمام شيخ الإسلام مجد الدين أبي البركات عبد السلام بن عبد الله بن أبي القاسم ، ابن تيمية الحراني ثم الدمشقي ، بقلعة دمشق بالقاعة التي كان محبوسا فيها ، وحضر جمع كثير إلى الغاية إلى القلعة ، فأذن لهم في الدخول عليه ، وجلس جماعة عنده قبل الغسل ، وقرءوا القرآن ، وتبركوا برؤيته وتقبيله

“Berkata As Syaikh Alamuddin Al Barzali dalam “Tarikh”nya: dan di malam 21 Dzulqo’dah telah wafat Syaikh Imam Al Allamah Al Faqih Al Hafidz Al Qudwah Syaikhul Islam Taqiyuddin Abu Abbas Ahmad ibn Taimiyah Al Harrani di benteng damaskus di ruangan yang beliau dipenjara lalu datanglah banyak sekali orang ke benteng itu dan mereka diizinkan masuk, lalu duduklah sekelompok orang di sekeliling jenazahnya dan mereka MEMBACA AL QUR’AN, lalu mereka berTABARRUK dengan melihat jenazah beliau serta menciumnya”

Maka dari dua riwayat ini dapat kita simpulkan jika ada yang mengatakan “Imam Syafi’i itu mengatakan bacaan Al Qur’an gak sampai ke mayit” silahkan berikan riwayat di atas dan tanyakan dua pertanyaan ini :

1. Siapa yang lebih paham tentang pendapat beliau, anda atau murid-murid Imam Syafi’i ?

2. Apa mungkin murid Imam Syafi’i sejelek itu adabnya melakukan hal yang tidak sependapat dengan beliau tepat di sisi jenazahnya bahkan sesaat setelah ia wafat ?

Dan satu lagi kalau memang ada orang mengaku mengikuti/mengagumi Ibnu Taimiyah tentu seharusnya mereka membaca Al Qur’an di sisi jenazah seperti halnya dilakukan kepada jenazah Ibnu Taimiyah.

Kalau mereka bilang “yang melakukan itu ke Ibnu Taimiyah itu orang awam bukan murid beliau”

Jawabnya “kalau yang dilakukan salah lantas kenapa murid-murid yang hadir tidak ada yang mengingatkan ? Atau minimal ibnu katsir (yang juga muridnya) membantah di riwayatnya, bukankah KEBID’AHAN harus diingatkan bukan dibiarkan ?”

KESIMPULAN: Tradisi mayoritas muslim Indonesia dengan membaca Al Qur’an di sisi jenazah sejalan dengan tradisi muslim salaf dari masa Imam Syafi’i hingga Ibnu TaimiyahA

da kelompok, kalau dikasih dalil umum dari ayat Alquran dan hadis, mereka bantah : “Salaf mana yang mencontohkan amal demikian?”
Saat diberi dalil berupa contoh amal salaf, mereka bantah : “Adakah Nabi dan keluarga Nabi mengamalkannya?”
Bahkan mungkin kalaupun diberi dalil kuat pun, mereka akan katakan bahwa itu dalil khusus, bukan dalil umum, sebagaimana dalil tabarruk Nabi Zakariya dengan mihrab Siti Maryam, ataupun Nabi Ya’qub dengan gamis Nabi Yusuf, alaihimussalam.
Ini efek tidak belajar ushul fikih, sehingga tidak mengamalkan dianggap melarang. Tidak menemukan dalil dianggap tidak ada dalil. Kekhususan sebab dianggap kekhususan hukum.
Tak usah saya sebut, siapa kelompoknya. Tidak disebut pun, paling bakal muncul sendiri, walaupun dengan akun palsu. Hehe..

Wallahua’lam.

Leave a comment