Tag Archive | sama sama

Mengawali Ta’dib


Adab pilarnya, aqidah landasannya. Kuatnya fondasi memudahkan kita membangun apa saja, setinggi apa pun di atasnya. Tegaknya pilar mengokohkan bangunan yang kita dirikan, baik melebar maupun meninggi, tanpa menjadikannya retak, rapuh, dan goyah. Lemah pilar tapi kuat fondasi, menyebabkan sulitnya kita membangun sesuai harapan. Fondasi tetap ada, tetapi makin tinggi makin berat beban yang harus ditanggung.

Maka pilar dan fondasi harus sama-sama kita perhatikan dengan baik. Kuat pilar lemah fondasi, menjadikan mereka tahu dan bersemangat terhadap kebaikan, tetapi mereka sulit mewujudkan apa yang menjadi keyakinannya. Kuat pilar lemah fondasi menjadikan perilaku mereka tampak baik, sikap mereka mengagumkan, tetapi ia sesungguhnya lemah. Mudah merobohkan apa yang telah ada. Jika pun kebaikan itu tetap mereka kerjakan, boleh jadi tak bernilai karena berbagai kebaikan itu tanpa niat yang lurus semata-mata untuk Allah Ta’ala dan karena Allah Ta’ala.

Karenanya, ta’dib (proses pembentukan adab) di sekolah menjadi keharusan, sebagaimana tidak adanya tawar menawar dalam masalah penanaman aqidah. Dan yang paling mendesak sekaligus mendasar untuk dibangun adalah tauhid dan niat.
Pertanyaannya, bagaimana mungkin? Bukankah anak-anak usia TK dan SD kelas bawah merupakan usia bermain? Jawabnya, jika anak telah memiliki antusiasme belajar, punya gairah bersekolah yang sangat tinggi, apakah belajar menjadi beban baginya? Lihatlah, adakah anak-anak mengeluh ketika mereka menirukan orang dewasa berdemonstrasi atau melakukan long march? Tidak. Kenapa? Karena mereka bersemangat.

Mari kita ingat sejenak nasehat Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Dalam Tuhfat al-Maudud bi Ahkam Al-Maulud mengatakan, “Diawal waktu, ketika anak-anak mulai bisa bicara, hendaknya mendiktekan kepada mereka kalimat laa ilaha illa llah muhammadurrasulullah, dan hendaknya sesuatu yang pertama kali didengar oleh telinga mereka adalah laa ilaha illallah (mengenal Allah) dan mentauhidkan-Nya. Juga ajarkan kepada mereka bahwa Allah bersemayam di atas singgasana-Nya yang senantiasa melihat dan mendengar perkataaan mereka, senantiasa bersama mereka dimanapun mereka berada.”

Catatan penting, menanamkan tauhid dan membangun niat yang lurus dan kokoh pada anak bukan berarti penyampaian secara kognitif agar mereka memahami dengan baik. Pada usia TK dan SD kelas bawah, belum saatnya memberi pembelajaran aqidah dengan penekanan secara kognitif. Yang mereka perlukan adalah dorongan, motivasi, dan sentuhan hati agar mereka mengingini, mencintai dan bersemangat memegangi sekaligus melakukan apa-apa yang diserukan oleh agama. Ini yang paling pokok.

Mari kita ingat ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam menasehati Ibnu Abbas RA yang ketika itu masih kecil. Apa hal pokok yang beliau tanamkan ke dalam dada Ibnu Abbas? Tauhid. Keyakinan yang kuat bahwa tidak ada yang dapat memberikan maslahat dan madharat kecuali Allah ‘Azza wa Jalla. Ini pula yang seharusnya kita bekalkan kepada anak-anak kita. Di sekolah, guru-guru TK dan SD paling bertanggung-jawab dalam menumbuhkan keyakinan –bukan hanya pemahaman—tentang kekuasaan Allah Ta’ala yang tiada sekutu baginya.

Mari kita renungi pesan Rasulullah kepada Ibnu Abbas, “Wahai anakku, sesungguhnya aku akan mengajarkanmu beberapa kata ini sebagai nasehat buatmu. Jagalah hak-hak Allah, niscaya Allah pasti akan menjagamu. Jagalah dirimu dari berbuat dosa terhadap Allah, niscaya Allah akan berada di hadapanmu. Apabila engkau menginginkan sesuatu, mintalah kepada Allah. Dan apabila engkau menginginkan pertolongan, mintalah pertolongan pada Allah.

Ketahuilah bahwa apabila seluruh umat manusia berkumpul untuk memberi manfaat padamu, mereka tidak akan mampu melakukannya kecuali apa yang telah dituliskan oleh Allah di dalam takdirmu itu.Juga sebaliknya, apabila mereka berkumpul untuk mencelakai dirimu, niscaya mereka tidak akan mampu mencelakaimu sedikit pun kecuali atas kehendak Allah. Pena telah diangkat dan lembaran takdir telah kering.” (Riwayat At-Tirmidzi).

Apa yang dapat kita petik? Keyakinan kepada Allah Ta’ala, menyandarkan diri hanya kepada Allah sehingga tidak merasa lemah di hadapan manusia, serta mengikatkan diri kepada Allah sebagai penentu takdir.

Pada jenjang selanjutnya, pembelajaran secara kognitif untuk memahamkan mereka tentang tauhid dan niat mulai perlu kita berikan. Tetapi kita harus tetap ingat bahwa ta’lim itu bukan hanya memahamkan secara kognitif dan memberi gambaran yang jelas kepada anak. Kita harus ingat bahwa ‘alim adalah seorang yang apabila semakin bertambah ilmunya, semakin bertambah pula rasa takut sekaligus kecintaannya kepada Allah. Ini berarti, ta’lim itu merupakan paket yang memuat pembelajaran secara kognitif, tadabbur untuk menyadari dan menghayati kebesaran serta nikmat Allah, sekaligus nashihah agar mereka merasa takut kepada Allah dan mencintainya dengan penuh keimanan.
Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun.” ( Al-Faathir {35}: 28).

Ini berarti, harus ada langkah penting dalam mendidik anak-anak kita di sekolah. Sekadar perubahan pada mata pelajaran, tak berpengaruh besar pada diri murid. Tanpa guru-guru yang terasah imannya, pelajaran aqidah hanya akan bersifat kognitif saja. Dan ini tidak dapat menjadi landasan yang kokoh bagi proses ta’dib.

Maka, kita memerlukan guru-guru yang mencintai dien ini dan bersemangat belajar dien. Kita memerlukan guru yang meyakini dien ini dan menjadikannya sebagai penimbang, penakar dan penentu apakah gagasan, teori maupun metode yang muncul belakangan dapat kita terima, harus kita tolak seluruhnya atau kita ambil sebagian. Bukan sebaliknya, menakjubi segala hal yang tampak hebat, lalu mencari pembenarannya dalam dien ini.

Jika kita sudah menanamkan tauhid dan membangun niat yang lurus dan kokoh, barulah kita berbincang tentang ruang lingkup adab. Kita melakukan ta’dib sembari terus memberi pendidikan (tarbiyah) untuk masalah tauhid dan niat ini.
Lalu apa saja ruang lingkup yang harus kita perhatikan? Secara sederhana, kita memberikan ta’dib yang mencakup seluruh adab (manner & etiquettes) yang dituntunkan oleh dien ini. Tetapi pada saat awal, yang pertama kali kita tumbuhkan adalah adab terhadap guru, orangtua, orang yang lebih dewasa serta terhadap teman sebaya. Adapun dalam hal apa saja adab harus bangun, salah satu hal pokok adalah adab menuntut ilmu.

Semoga dengan ini, bekal sukses sebagai murid dapat mereka miliki, yakni percaya kepada guru, menghormati (memuliakan) guru serta memiliki ikatan emosi yang sangat kuat terhadap guru.
Wallahu a’lam bish-shawab.

Insert teks
Kita memerlukan guru-guru yang mencintai dien ini dan bersemangat belajar dien. Kita memerlukan guru yang meyakini dien ini dan menjadikannya sebagai penimbang, penakar dan penentu apakah gagasan, teori maupun metode yang muncul belakangan dapat kita terima, harus kita tolak seluruhnya atau kita ambil sebagian. Bukan sebaliknya, menakjubi segala hal yang tampak hebat, lalu mencari pembenarannya dalam dien ini.

SUARA HIDAYATULLAH APRIL 2012

Menjadikan Anak Suka Membaca


oleh Mohammad Fauzil Adhim (Catatan) pada 23 Mei 2013
 
Cara Nabi Mengatasi Kemandulan

Anak saya tujuh. Sebelum anak pertama lahir, salah satu obsesi kami memang ingin menjadikan anak senang membaca. Untuk itu, saya berusaha mempelajari berbagai teori tentang mengajarkan membaca kepada anaksejak usia paling dini. Ada berbagai macam literatur, tetapi intinya anak-anak memerlukan buku-buku yang secara khusus dirancang untuk anak, berbahan tebal, warnanya atraktif, sedikit tulisan banyak gambar (wordless picture book) dan yang jelas: harga buku semacam itusangat mahal untuk ukuran kami yang baru menikah. Apalagi sama-sama masihkuliah.

Tapi demi sebuah cita-cita, kami tetap berusaha membeli buku-buku yang khusus dirancang untuk anak tersebut. Mahal memang, tapi cita-cita memang memerlukan pengorbanan. Kami bacakan buku kepada anak pertama saya, Fathimatuz Zahra, semenjak kira-kira usia 6 minggu. Bisa apa anak di usiaitu? Yang paling pokok bukan bisa atau tidak. Yang paling penting ketika itu adalah membentuk reading pattern (pola membaca) sehingga anak “memiliki kebutuhan membaca” pada waktu-waktu tersebut. Kami membacakan buku untukFathimah sehabis memandikannya, serta saat anak menetek mau tidur. Ini kemudian memang menjadi pola di usia-usia berikutnya. Ini pula yang berperan penting menjadikan anak suka membaca sehingga usia 4 tahun sudah lancar membaca. Tetapi mampu membaca di usia 4 tahun sama sekali bukan target. Tidak penting usia berapa membaca. Yang paling penting adalah ada tidaknya, kuat tidaknya, sikap positif terhadap membaca yang akan berperan penting membentuk budaya membaca.

Saya justru menghindari mengajari anak agar terampil membaca sebelum usia 7 tahun. Dari berbagai riset dan pengalaman berbagai negara maju, pembelajaran membaca secara formal sebaiknya dimulai usia 7 tahun. Jika anak lancar membaca sebelum masuk sekolah dasar, itu semata karena anak sangat tertarik membaca sehingga akhirnya terdorong untuk belajar membaca.

Lebih baik terampil membaca belakangan, tetapi minat baca sangat besar dan rasa ingin tahu terhadap ilmu begitu tinggi daripada lancar membaca saat masih TK, tapi baru di sekolah menengah saja gairah mereka membaca sudah tidak ada. Ini bisa terjadi manakala kita hanya sibuk mengajari membaca. Bukan membuatnya tertarik.

Saya tidak berpanjang-panjang dengan masalah ini. Kembali pada pengalaman mengasuh anak agar suka membaca. Jika pada anak pertama dan kedua kami memang berusaha keras agar dapat membelikan buku-buku yang khusus dirancang untuk anak, belakangan kami lebih menekankan pada bagaimana anak akrab dengan suasana membaca. Sehari-hari anak melihat bahwa membaca itu asyik,membaca itu membuka wawasan dan menambah pengetahuan, membaca itu jalan untuk meraih ilmu yang bermanfaat. Medianya tak harus buku yang khusus dirancang untuk anak. Kami menceritakan apa saja yang kami baca, berdiskusi atau merisaukan apa yang dibahas di surat kabar maupun buku, dan kadang melibatkan anak dalam pembicaraan penting yang ada di buku. Kami sering menjadikan buku sebagai acuan; sumber rujukan. Disamping itu, anak memang akrab dengan buku. Dimana-mana ada buku; ruang tamu, kamar pribadi, ruang tengah, mobil dan tas untuk bepergian ada buku. Ini memberi “pesan” kepada anak bahwa buku itu penting.

Pada anak-anak berikutnya, kami membacakan tidak secara khusus buku untuk anak seusianya. Dalam buku Membuat Anak Gila Membaca, memang kami sempat membahas bahwa kita perlu membacakan buku benar-benar sesuai usianya. Tapi dalam perkembangannya, kami mendapati tidak demikian. Menjadikan anak suka membaca tidak harus dengan mengeluarkan uang besar untuk membeli buku-buku eksklusif. Yang paling penting adalah kesediaan kita mendampingi anak membaca. Itu sebabnya, buku ini untuk sementara dihentikan peredarannya. InsyaAllah setelah revisi akan kembali terbit di Pro-U Media, Yogyakarta.

Ada memang sejumlah buku yang “khusus anak usia balita”. Ini sisa kakaknya, meskipun sudah banyak yang sobek. Ada juga hadiah. Tapi yang paling penting adalah mengakrabkan dan menjadikan anak merasa bahwa buku sangat berharga. Ini akan lebih mudah lagi manakala di rumah tidak ada TV.

Jika untuk menjadikan anak suka membaca tak harus berbiaya tinggi, mengapa kita harus grogi sebelum memulai? Koran bekas, kertas yang sudah tak terpakai dan buku apa pun yang bagus isinya meskipun seakan bukan untuk anak, semuanya merupakan media mengenalkan membaca kepada anak sekaligus menjadikan mereka suka baca.

Murah bukan?